The New Mutants: Sebuah Percobaan Horor yang Terjebak di Antara Dua Dunia
Setelah melewati berbagai rintangan produksi dan penundaan rilis yang panjang selama bertahun-tahun, film spin-off X-Men yang lama dinanti, The New Mutants, akhirnya tiba di layar lebar pada tahun 2020. Digadang-gadang sebagai perpaduan unik antara genre horor dan kisah mutan Marvel yang familiar, film ini menjanjikan pendekatan yang segar terhadap waralaba pahlawan super. Namun, apakah film arahan Josh Boone ini berhasil memenuhi ekspektasi atau hanya menjadi catatan kaki yang terlupakan dalam sejarah X-Men? Ulasan ini akan menyelami lebih dalam potensi, tantangan, dan eksekusi film yang penuh gejolak ini.
Konsep dan Premis Unik yang Menjanjikan
Salah satu daya tarik utama The New Mutants adalah pendekatannya yang berbeda dari film-film X-Men sebelumnya. Alih-alih aksi superhero yang masif dengan taruhan global, film ini memilih jalur yang lebih gelap dan intim, menempatkan lima mutan remaja yang baru menemukan kekuatannya dalam sebuah fasilitas terisolasi yang menyerupai rumah sakit jiwa. Mereka dipantau oleh Dr. Reyes (Alice Braga), yang meyakinkan mereka bahwa mereka ada di sana untuk belajar mengendalikan kekuatan mereka, sekaligus menyembuhkan trauma masa lalu mereka. Premis ini mengingatkan pada film-film horor remaja klasik, menciptakan suasana mencekam dan misterius yang terasa segar dalam genre superhero. Film ini berani mencoba menjadi sebuah film horor psikologis yang berlatar dunia X-Men, sebuah ide yang sangat menarik di atas kertas.
Karakter dan Dinamika Kelompok
Inti dari film ini terletak pada karakter-karakternya yang penuh masalah. Kita diperkenalkan kepada Dani Moonstar (Blu Hunt), seorang Cheyenne yang misterius dan penyebab insiden traumatis; Illyana Rasputin alias Magik (Anya Taylor-Joy), mutan Rusia yang sarkastis dan keras; Sam Guthrie alias Cannonball (Charlie Heaton), pemuda lugu dari Kentucky yang tidak bisa mengendalikan ledakan kekuatannya; Roberto da Costa alias Sunspot (Henry Zaga), mutan Brasil yang kaya dan karismatik; dan Rahne Sinclair alias Wolfsbane (Maisie Williams), seorang gadis Skotlandia yang religius dan bergumul dengan sisi buasnya.
Kimia antar para aktor patut diacungi jempol. Meskipun setiap karakter memiliki beban trauma masa lalu mereka sendiri, interaksi dan dinamika hubungan yang terbangun di antara mereka, terutama persahabatan antara Illyana dan Rahne, terasa otentik dan menjadi tulang punggung emosional film ini. Mereka semua adalah korban, terpinggirkan, dan dipaksa menghadapi kekuatan mereka yang menakutkan, yang seringkali menjadi manifestasi dari ketakutan terdalam mereka.
Eksekusi Horor dan Ketegangan
Aspek horor adalah yang paling banyak dibicarakan sebelum rilis, dan film ini memang menyajikan beberapa momen menakutkan. Ancaman terbesar datang bukan dari penjahat eksternal, melainkan dari manifestasi visual dari ketakutan dan trauma para mutan itu sendiri. Ada beberapa jump scare yang efektif dan adegan-adegan yang berhasil membangun ketegangan psikologis. Josh Boone mencoba menghadirkan elemen-elemen horor klasik seperti rumah berhantu, monster bayangan, dan kondisi mental yang tidak stabil.
Namun, eksekusi horor terasa kurang konsisten. Terkadang berhasil membangun suasana mencekam dan momen yang mengganggu, di lain waktu terasa seperti film ini ragu untuk sepenuhnya merangkul identitas horornya, mungkin karena tekanan untuk tetap menjadi bagian dari waralaba pahlawan super. Hasilnya adalah perpaduan yang terasa sedikit setengah-setengah, tidak sepenuhnya horor yang dalam, juga tidak sepenuhnya film superhero yang penuh aksi.
Kelemahan dan Potensi yang Terbuang
Sayangnya, perjalanan The New Mutants menuju layar lebar yang panjang dan penuh masalah meninggalkan bekas luka yang terlihat. Pacing film terasa lambat di awal, menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memperkenalkan karakter dan membangun misteri, dan kemudian terburu-buru di bagian akhir. Beberapa subplot terasa kurang dikembangkan atau diselesaikan dengan tergesa-gesa. Potensi besar dari premisnya – yaitu horor psikologis yang mendalam yang berasal dari trauma karakter – terasa sedikit terbuang karena film ini tidak sepenuhnya berani untuk mendalaminya. Efek visualnya juga bervariasi; beberapa terlihat meyakinkan, sementara yang lain terasa kurang matang, mungkin akibat dari perubahan dan penundaan produksi. Film ini tampaknya berjuang untuk memutuskan apakah ia ingin menjadi film horor yang mengerikan atau film X-Men yang berfokus pada kekuatan baru.
Kesimpulan
The New Mutants adalah film yang ambisius namun cacat. Ia mencoba sesuatu yang baru dalam waralaba X-Men, sebuah langkah yang patut diapresiasi karena keberaniannya untuk bereksperimen dengan genre. Meskipun tidak sepenuhnya berhasil sebagai film horor yang menakutkan maupun sebagai film superhero yang kohesif, film ini menawarkan dinamika karakter yang menarik dan penampilan yang solid dari para pemain mudanya, terutama Anya Taylor-Joy yang mencuri perhatian sebagai Magik.
Bagi penggemar X-Men yang penasaran atau mereka yang mencari sesuatu yang sedikit berbeda dari formula superhero standar, The New Mutants mungkin layak ditonton sekali, sebagai studi kasus tentang potensi yang tidak terealisasi dan tantangan produksi film yang ekstrem. Ia adalah pengingat bahwa bahkan ide-ide paling cemerlang pun dapat tersandung dalam eksekusi, tetapi terkadang, ada keindahan tersendiri dalam upaya yang berani, meskipun tidak sempurna.